Senin, 04 Maret 2013

Cinta

Cinta

 

 Ketika kita didudukan dalam situasi untuk memilih, tentu naluri kemanusiaan kita akan memilih yang terbaik (best of the best). Lalu bagaimana jika justru ketika pilihan tersebut tidak ada yang memenuhi kriteria kita, haruskah kita tinggalkan dan mencari pilihan lain? Bagaimana jika seandainya pilihan tersebut mutlak yang terakhir? Dan bagaimana jika seandainya pilihan tersebut adalah suatu keputusan yang justru berimplikasi terhadap masa depan kita? Bagaimana seandainya jika justru pilihan tersebut adalah ujian dari Allah Swt sebagai wujud dari kasih sayang-Nya terhadap kita?

Banyak cerita di sekeliling kita yang dapat dijadikan bahan renungan tentang makna pilihan, dan buntutnya tentu masalah cinta. Jangan berpikiran sempit dulu tentang cinta itu sendiri. Cinta bukan hanya cinta antara pasangan suami istri (pasutri), atau cinta antara anak dan orang tua, namun juga termaktub cinta kepada suatu barang, misalnya buku dan lainnya. Bahkan ada seseorang yang sangat mencintai idola-nya, entah itu seorang artis atau aktor film.
Bukan suatu kebetulan jika saya mengetengahkan makna cinta ini kok sepertinya berhubungan dengan hari ‘valentine’ yang sebentar lagi tiba. Jujur saja saya sudah tidak ambil pusing dengan perayaan tersebut semenjak saya tahu bahwa perayaan hari valentine itu sangat jauh dari nilai islami. Bagi saya, cinta itu bersifat universal yang berhak dimiliki dan dinikmati oleh setiap makhluk hidup di bumi Allah ini tanpa batas waktu dan jarak.
Lalu, bagaimana jika kita dihadapkan kepada suatu keharusan untuk memilih satu dari dua pilihan yang ada? Sudahkah kita memaknai bahwa pilihan tersebut adalah yang terbaik menurut Allah Swt untuk kita, bukan sebaliknya.
Suatu kali pernah seorang teman bercerita tentang kehidupan rumah tangganya yang bermasalah. Namun sayangnya hal tersebut dijadikan alasan oleh sang teman untuk membalas-dendam dengan, maaf, berselingkuh dengan orang lain. Saya pun kerap bertanya kepada diri saya sendiri, bukankah ketika kita memutuskan menikahi pasangan kita adalah suatu pilihan yang pasti terbaik dari segala pilihan yang ada?
Tapi tunggu dulu, terbaik menurut siapa?
Allah Swt menganugerahi setiap manusia sebuah bonus yang bernama ‘akal’, mengapa saya katakan ‘bonus’ karena selain manusia, makhluk lain (hewan dan tumbuhan) tidak dianugerahi hal yang sama. Selain itu, sebagai manusia kita pun dianugerahi ‘titel’ khalifah (di bumi) oleh Allah Swt.
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi”. (Faathir:39)
Kembali kepada cerita seorang teman di atas, salahkah dia dengan pilihan hatinya? Salahkah dia ketika meresa kecewa karena pilihannya ternyata jauh dari apa yang dia impikan? Atau ketika dia diberikan pilihan, sudahkah dia memutuskan memilihnya dengan atas nama Allah?
Suami selalu mengingatkan saya untuk tidak terlalu mencintainya kalau bukan karena Allah Swt, karena ketika suatu saat Allah memanggil suami, tidak ada lagi cinta dan tempat bernaung yang tersisa, karena kesemua cinta yang ada sudah dibawanya pergi. Namun, ketika ketika kita mencintainya atas nama Allah, badai rintangan apapun yang menghadang, kita masih dapat berlindung di bawah kasih sayang-Nya karena hanya Allah Swt yang mampu memberikan kesempurnaan perlindungan.
Keputusan sang teman untuk berselingkuh, jelas meletakkan nafsu di atas akal. Bukan hanya tidak akan memecahkan masalah, bahkan akan menambah masalah baru. Akal pun dikorbankan atas nama nafsu semata.
Saya teringat ketika adzan maghrib berkumandang, sebagian kita mungkin sedang asyik menyimak berita demonstrasi di sebuah liputan berita nasional di televisi. Dan pilihan kembali disorongkan kepada diri kita. Mematikan televisi dan langsung berwudhu atau mentolerir diri kita dengan ‘pembenaran’, tokh beritanya tinggal lima menit, dan terus menonton. Kembali akal pun kita korbankan atas nama ‘tinggal lima menit’ ketika kita diberikan suatu pilihan di hadapan kita.
Bangun di waktu subuh ketika adzan berkumandang adalah satu pilihan terberat bagi sebagian orang yang lemah iman. Ketika orang lain sudah melangkah menuju surau/masjid di sisi lain kita mungkin masih enggan beranjak dari dalam selimut. Tidak hiraukan seruan dari surau…. ash shalatu khairun minan naum…
****
Cinta kepada orang lain melebihi cinta kepada suami, cinta kepada liputan berita daripada mendirikan sholat maghrib dan cinta kepada kehangatan selimut kita daripada bergegas ke surau adalah suatu pilihan yang diberikan Allah Swt bagi kaum yang berakal. Sudahkah kita termasuk ke dalam orang-orang yang berakal? Sudah pantaskah kita menjadi khafilah di bumi Allah ini?
Marilah kita bersegera sujud memohon ampun kehadirat-Nya atas segala keterlenaan kita dan atas keterbiusan kita akan gemerlap duniawi yang sebenarnya tiada kekal. “Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah:269)
Lalu, cinta manakah yang akan Anda pilih? Wallaahu’alam bishshowab.

Cinta Itu Memang Harus Memilih

 

Cinta itu memang harus memilih. Dan memilih itu mestilah faham ada konsekuensi. Ada lebih dan kurang. Ada baik dan buruk. Ada senang dan ada kecewa. Ini hukum alam. Dunia memang tak sesempurna harapan kita, tak juga apapun pilihan kita.
Dan dalam perkara “cinta harus memilih” ini, sungguh benar nyanyian Pance yang berjudul “Di Saat Kau Harus Memilih“, yang mengakhiri sebuah postinganku tiga hari yang lalu. Pance begitu bijak melagukan lirik menyentuh kalbu itu…
Malam ini coba kau renungkan
Di saat cinta harus memilih dalam hatimu.
Jangan kau coba membagi kasih sayangmu.
Suatu hari akan ada tangis
Bila kau masih mendua hati
Membagi kemesraan.
Dan semalam pun, kurenungkan kembali sosok yang sudah setia menemaniku selama ini, sambil memandangi sosok lain di layar monitor komputerku. Sosok yang beberapa hari ini sempat menggeser sosok yang sudah lama setia itu. Sosok setia yang pernah berkata penuh manja…

Ah. Kesetiaan ituh...
Sungguh pilu dan berdosa rasa hatiku. Betapa bertahun waktu berlalu, dalam susah senang kami selalu bersama. Berlembar halaman di alam maya ini sudah kami singgahi berdua. Berlusin file bajakan sudah pernah kami copet bersama, laksana masa kanak-kanak bergelak-ria mencuri mangga di kebun warga desa. Tak peduli dosa, riang bahagia. Semalam, rasa berdosa aku meninggalkannya. Mempoligamikannya dengan sosok lain yang kukira akan begitu peduli padaku, akan menjaga rahasiaku tapi rupanya tidak. Aduhai. Hingga sempat kucurhatkan dia dengan sobatku, Salman Al Farisi Al Java Debian Begitulah kala rembulan telah lewat separuh malam, melalui sebuah layanan pergunjingan bermerek Yahoo! Messenger.
Lama kurenung-renungkan juga apa yang sudah kulakukan, apa yang sudah kupostingkan agak 3 hari yang silam. Sementara sebuah lagu Aceh bertema serupa terputarkan pula di kamarku, melengkapi sesalku. Sebuah lagu Aceh era 90-an berjudul “Di Antara Dua Pilehan“, yang liriknya tak kalah menghunjam kalbu bak lagu Pance yang kusebut-sebut di atas itu. Lirik yang kira-kira terjemahannya begini:
Di antara dua pilihan
Bisikan hati jingga
Aku hendak memilih setangkai bunga
Dalam karangan dua
Bunga melur putih berkarang
Sama cantik dengan bunga melati
Bukan salah mata memandang
Bukan salah bunga berwarna
Cinta terbelah dua
Hati cuma satu
Jodoh tak ada dua
Aduhai. Dalam nian kena di hati. Betapa silap diri hendak menduakan hati. Hendak menyandingkan dua pillihan dalam satu hati. Sungguh sebuah kenaifan, cuma karena terfana akan fatamorgana yang fana. Terbuai dengan segala bujuk-bujuk muluk akan betapa lincah sosok baru yang lama merayu-mengajuk, akan begitu enak melenggang membawa diri melanglang jagad mayapada ini. Begitu cepat, begitu halus, begitu oh yess lah pokoknya.
Padahal, sosok lama sudah terbukti lekat di hati. Meski kadang, jika dia sedang menyebalkan, tergerus rasa memori. Hingga, seperti kataku di postingan nan lalu, bahkan hilang nikmat mendengarkan lagu. Sengsara Rihanna dibuatnya, bersebab memori nyaris putus untuk melantunkan nyanyian bagus. Rasa-rasa suara Rihanna begitu memprihatinkan, seakan rusak pita suaranya diterjang komplikasi TBC, Asma dan kelelahan berpuasa tiga purnama. Tapi, dengan tingkah polahnya seperti itu, dialah pilihanku sejak dulu. Yang baiknya, tak bisa lekang segampang kemarau setahun pupus dihapus hujan sehari. Yang buruknya, mestilah dimaklumi, dan kalau sudah rusak, mestilah diperbaiki.
Itu pula yang tak kulakukan. Malah, dengan tak tahu diri, kuduakan hati, kubikin kamar baru untuk sosok lain, berdampingan dengan dirinya laksana film “Sepondok Dua Cinta“, yang pernah diperankan Didi Petet, Marissa Haque dan Eva Arnaz, di bawah garapan M.T. Risyaf. Betapa kejam, demi sebuah berahi agar imajinasi melanglang cepat dan kencang sampai menggelinjang, sosok lama kutinggalkan pergi melenggang. Kalau kukenang, kulihat lagi dirinya, rasa-rasa tertusuk dalam hati…

Bukan, Bro... Ini bukan soal sate, Bro...
Kisah “cinta harus memilih” ini bukan soal cinta betulan, bukan pula perkara sate  meski ada kata “tusuk” dalam postingan ini. Ini soal yang kemarin juga: soal browser.  Ini soal menduakan Mozilla Firefox dengan Google Chrome.
Sudah tiga hari berlalu sejak postingan itu kumuncratkan panjang-lebar macam para bapak-bapak menyajikan segudang dalih pada masyarakat dan bini tuanya, kenapa dia harus berbini dua, tiga atau empat. Begitu pula aku: sudah tampak jelek Mozilla Firefox di mataku, persis laki-laki di usia puber kedua, lalu mata binal melirik kian-kemari. Dan, umpama lelaki sudah membentengi diri dengan segudang dalih, pakai ayat pakai hadist pakai alasan, kalau perlu pakai pidato soal PP 10 tahun 1983 jo PP 45 tahun 1990; aku pun memberikan segudang dalih kenapa berpaling mata ke Google Chrome beberapa hari yang lalu. Segudang dalih demi pembenaran niatku hendak mencicipi seperti apa rasa kencang-mulus-menggelinjang Google Chrome akan memuaskan berahiku untuk menjelajahi tiap relung-relung kenikmatan di internet ini.
Namun, ibarat orang beristri dua, sudahlah mengkhianati rasa hati istri pertama (bahkan kalau perlu istri tua didesak ridha di bawah dalih agama dan budaya), dapat pula istri muda tak elok perangainya. Istri muda yang biasa mengintip kemana saja kau pergi, lalu mengumpulkan data-data dimana dirimu berada, dan menjualnya jadi informasi kepada siapa yang butuh, laksana kisah double agent dalam dunia intelijen. Sementara istri tua sudah menandatangani perjanjian untuk memberikanmu kebebasan, tidak akan menguntit-nguntit, si istri muda malah menolak menandatangani perjanjian tersebut. Dia cuma memberikanmu sebuah anak kunci “Keep My Opt-Outs“, sebuah anak kunci canggih dimana kau bisa mengunci pintu pagar agar dia tak keluar membuntutimu. Dia bahkan berikan kau semacam pernyataan pribadinya untuk membuatmu percaya, namun tak menjamin dia tak akan mengintaimu dari balik pagar. Bersebab gembok ada di tangannya.
Semacam itulah kira-kira merana aku dalam tiga hari berlalu sejak kuelu-elukan dia, meski sudah terlambat tiga tahun dari pengguna fanatiknya yang lain. Laksana orang yang dulu anti-Apple kena dakwah Apple Evangelist, lalu merasa bahwa menjadi pengguna produknya, tercerahkan, update, lalu pasrah dicopot kebebasan demi dianggap modern di dalam sekte Apple, begitulah aku beberapa hari ini.

Siapa peduli kebebasanmu di dalam kuil iTunes? Stay silly, stay foolish.
Kucoba serahkan kepercayaan pada Google Chrome, cuma untuk menyadari bahwa dia tak sesempurna bacritan para fanatikusnya.
Misalkan saja, kala aku hendak melakukan ritual unduh-mengunduh (mumpung PIPA sangkakala SOPA belum jadi ditiup membawa kiamat dunia maya), adalah hal merepotkan untuk berurusan pula dengan segala download manager dengan menggunakan Chrome. Dari Free Download Manager, Orbit Downloader, Download Accelerator Manager, dan juga FlashGet, tak ada yang berjalan dengan baik di jalan yang benar lagi lurus. Dan di OS BlankOn-ku, yang berbasis Ubuntu pun, Chrome dalam bentuk Chromium, tak berjalan dengan elok. Binasa karena adblock setitik, persis kasus di sini. Bengong karena Youtube sebelanga, macam kasus di sini pula.
Oke. Chrome memang berjalan cepat. Memori hemat. Kalau buka situs, meski pun terkutuk jadi fakir benwith, tak terasa begitu sulit. Tampilan sederhana, kecepatan jaya. Oke. Berbagai ekstensyen di Chrome menarik. Tapi itu belum cukup menarik untuk membuatku berpaling hati habis-habisan. Dan yang paling penting, salah satu hal yang membuatku betah untuk memakai Firefox dengan segala sikap ngambek, boros dan egoisnya, adalah kesediaannya untuk melindungi privasiku. Benar, di internet tak ada privasi mutlak. Tapi setidaknya, aku jadi faham alasan kenapa Tor dan Jondo menggunakan Firefox sebagai browser oprekan mereka, bukan Google Chrome: karena privasi. Aku tak mau menukar segala informasi yang kukirimkan via browser dengan iming-iming kecepatan dan kelembutan belaka. Ini salah satu alasan yang mungkin terdengar idiot diantara kelakar 5 alasan kenapa awak mesti hati-hati soal Google, tapi aku cukup peduli soal ini. :cool:

We are no evil don't fear. We have the ads you must see. We've created your world. Like in tales you have heard.
^Lagu Celesty Dreams dalam nada Orwellian^
Tapi… Google itu memiliki moto “Don’t be evil“. Mereka tak mungkin ja-at… :(
Ha? Begitukah?
Eric Schmidt, sang CEO Google pernah bersabda, “If you have something that you don’t want anyone to know, maybe you shouldn’t be doing it in the first place.” Dan makna sabda itu bagi sebuah korporasi yang mencari rezeki dengan menggunakan data para netter, tersirat terang-benderang di dalam Terms of Service mereka:
 

11.1 You retain copyright and any other rights you already hold in Content which you submit, post or display on or through, the Services. By submitting, posting or displaying the content you give Google a perpetual, irrevocable, worldwide, royalty-free, and non-exclusive license to reproduce, adapt, modify, translate, publish, publicly perform, publicly display and distribute any Content which you submit, post or display on or through, the Services. This license is for the sole purpose of enabling Google to display, distribute and promote the Services and may be revoked for certain Services as defined in the Additional Terms of those Services.
 
Google tetap saja sebuah korporasi. Mereka -seperti korporasi global lainnya- tetap saja berkehendak meraup sebanyak mungkin uang di bumi ini. Dari bisnis mesin pencari? Bukan. Tepatnya dari iklan. Di tahun 2009 saja, 97% pendapatan mereka berasal dari iklan yang disuapkan kepada para netter. Ini sebab kenapa plugin atau ekstensyen untuk memblokir iklan, serta kenapa perjanjian untuk menerapkan fitur Do Not Track (yang ada dalam berbagai browser seperti Firefox, Internet Explorer dan Safari), justru sulit mereka terapkan di browser rancangan mereka.
Moto “not be evil” tak membuat mereka lebih suci daripada Coca-cola yang berslogan “open happines” atau “buka semangat baru” yang maknanya tak lebih dari bujukan agar kita membuka dompet kita untuk mereka. Ini sebenarnya poin awal yang kusebut di postingan terdahulu, pernah membuatku tak nyaman memakai Chrome. Aku yang pernah membuat postingan soal Permen Konten, aku yang mengapresiasi keberadaan Tor dan Jondo, dengan alasan untuk mencicipi sedikit kebebasan tersisa di internet yang tak bisa tidak macam Lembaga Pemasyarakatan Panopticon ini, lalu hendak menyerahkan segala informasi melalui browser dari korporasi yang di bulan Mei tahun lalu baru saja merilis data mining engine-nya? Oh, tidak. :P
Baiklah. Jadi kau sudah menyuguhkan sekian alasan soal Google Chrome. Lalu kenapa kemarin kau pakai? Lalu apa?
“There is no such thing as a moral or immoral browser; browsers are well coded, or poorly coded. That is all.”
~ Oscar Wilde on Mozilla Firefox
Ya, tak ada istilah browser yang immoral dan yang tidak. Dengan menggunakan Firefox pun, layanan seperti Bing dan eBay bisa merekam-curi juga aktivitas internet kita. Aku juga faham benar itu. Gagasan begini pula sempat jadi alasan pembenar kenapa kemarin sudi meminang Chrome di komputerku. Aku mencoba berpoligami dengan Chrome, dan sudah terang-benderang alasannya di postingan terdahulu. Namun, semalam sudah insyaf lah aku, betapa perkara begini bermakna kesetiaan sedang diuji. Entah macam mana setega itu aku meninggalkan Firefox yang sudah bertahun setia menjalani hari-hari bersama. Bahwa memorinya rakus, dan menjadi gemuk laksana pacar lama menua memberat badan di kemudian hari, mestilah diterima dengan apa adanya, dan dibawa berdiet agar kembali memesona. Sehingga bisa tampak cantik kembali untuk melihat betapa cantik 10 pesona yang membuatnya masih lebih baik dari Chrome.
Ya. Aku kembali ke Firefox! :cool: 


coming back to you. oh.
Semalam aku memutuskan hubungan dengan Chrome dan kembali menggunakan Firefox. Meski harus sedikit repot untuk ber-”about:config”-ria, mengutak-atik value pada beragam filter di sana, dan memasang Memory Fox demi memastikan suara Rihanna di laptop tak terganggu lagi. Aku menghapus instalasi Chrome, bahkan lebih dari itu: untuk memastikan jangan ada godaan kembali -setidaknya dalam tempo dekat ini- aku membuang installer-nya sekalian. :twisted:
Pada akhirnya, memang tak ada browser yang terbaik atau tidak. Tapi, secara komunitas, aku masih lebih menaruh kepercayaan pada Komunitas Mozilla. Dan seperti kutipan mengada-ada dari Oscar Wilde di atas sana, pada akhirnya bukan perkara evil tak evil sebuah browser, namun perkara elok atau tidak dikodekan. Firefox memang busuk sejak menggelar program update cepat mereka. Tapi setidaknya masih bisa dioprek para end-user baik dengan kemampuan sendiri atau menggunakan add ons yang sudah tersaji.
Jadi demikianlah. Aku kembali pada Firefox. Kesetiaanku memang diuji, tapi terbukti memang cuma Firefox di dalam hati. Cinta memang harus memilih. :oops:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please di komen y,,,,,


thanks